Kabar gembira bagi manusia yang ingin berbuat maksiat, siapa bilang tidak boleh bermaksiat, boleh boleh saja, tetapi sebelum berbuat maksiat, kita lihat dulu kisah inspratif yang satu ini.
Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham didatangi seorang lelaki
yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabiah. Ia
meminta nasehat kepada dirinya agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan
maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya.”
Setelah merenung sejenah, Ibrahim berkata, “jika kau mampu
melaksanakan lima syarat yang kuajukan, maka aku tidak keberatan kau berbuat
dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar, Jahdar
beratanya, “apa saja syarat-syarat ini, ya Aba Ishak?”
“Syarat pertama, jika kau melaksanakan perbuatan maksiat,
maka janganlah kau memakan rizki Allah”, ucap Ibrahim.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “lalu aku
makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rizki
Allah?”
“Benar”, jawab Ibrahim tegas. “Bila kau telah mengetahuinya,
masih pantaskah kau memakan rizki-Nya sementara kau terus melakukan maksiat dan
melanggar perintah-perintah-Nya?”
“Baiklah…”, jawab lelaki itu tampak menyerah. “kemudian apa
syarat yang kedua?”
“kalau kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di
bumi-Nya”, kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua ini membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa?
Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi
dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar Abdullah. Karena itu pikirkanlah baik-baik. Apakah
kau masih pantas memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya sementara kau terus
berbuat maksiat?”, tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak”, ucap Jahdar kemudian. “Lalu apa
syarat ketiga?”, tanyanya dengan penasaran.
“Kalau kau masih juga bermaksiat kepada Allah tetapi masih
ingin memakan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat yang
tersembunyi agar tidak terlihat oleh-Nya.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak,
nasehat macam apakah semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi
kau masih terus memakan rizki-Nya, tinggal di buminya, dan terus melakukan
maksiat kepada-Nya. Pantaskah kau melakukan semua itu?”, Tanya Ibrahim kepada
lelaki yang masih tampak bengok itu. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabiah
tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakana apa syarat yang
keempat?”
“Jika malaikatul maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah
kepadanya bahwa engkau belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal
shaleh.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua
perbuatan yang dilakukan selama ini. Ia kemudian berkata, “tidak mungkin…tidak
mungkin seua itu kulakukan.”
“Ya abdallah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari
kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya sayarat yang kelima,
yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya
memberi nasehat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu
ke neraka di hari kiamat, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan
menjauhlah!”
Lelaki yang ada dihadapan Ibrahim bin Adham itu tampaknya
tidak sanggup lagi mendengar nasehatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan
wajah penuh sesal, ia berkata, “cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan
lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarkannya. Aku berjanji, mulai saat ini aku
akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Lelaki itu memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya
dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah
dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyuk.
(lifeofwriting.com)